Pembelajaran Berbasis TIK dan Permasalahannya

PEMBELAJARAN BERBASIS TIK
DAN PERMASALAHANNYA
Oleh : Yulianto Dwi Martono

Pendahuluan
Proses pembelajaran pada satuan pendidikan diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik (Dwi Martono, Yulianto, 2008)
Secara jujur harus diakui, proses pembelajaran yang didesain oleh guru saat ini masih mengebiri potensi siswa didik. Alih-alih berlangsung interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik, proses pembelajaran pun tak jarang berlangsung monoton dan membosankan.
Yang lebih memprihatinkan, masih muncul opini di kalangan sebagian besar guru bahwa pembelajaran dikatakan berhasil apabila suasana kelas berlangsung diam alias bisu dan siswa patuh dengan komando. Suasana kelas pun seringkali berubah mirip ruang karantina untuk “mencuci otak” siswa didik. Pembelajaran jauh dari dialog, bercurah pikir, apalagi dialog interaktif. Siswa yang kritis dan sering bertanya justru sering diberi stigma sebagai siswa “ngeyelan” dan cerewet. Siswa ber-”talenta” semacam itu tak jarang memancing adrenalin emosi guru yang tidak siap menjawab pertanyaan siswa. Dengan otoritas yang dimilikinya, guru bak sipir penjara yang tengah mengawasi perilaku narapidana (tengok di sini, di sini, dan di sini).
Kedua, dunia persekolahan kita masih jauh dari sentuhan teknologi informasi dan komunikasi. Memang, sudah banyak sekolah yang telah menjadi clien ICT.
Namun, sudahkah guru memaksimalkan penggunaannya untuk kepentingan
pembelajaran? Ini sebuah “penyakit” yang sering kambuh dalam dunia pendidikan kita.“Pintar melakukan pengadaan barang, tapi gagap dalam merawat, memelihara, dan mengoperasikannya”. Nilai gengsi dan prestise lebih diutamakan ketimbang substansi kepentingan dan manfaatnya.
Ketiga, belum ada perubahan paradigma pendidikan dalam dunia persekolahan kita. Meskipun sistem telah berubah, dari sentralistis ke desentralistis, tapi gaya pengelolaan dunia persekolahan kita tak ada bedanya dengan yang dulu-dulu. Kepemimpinan sekolah masih bergaya feodalistis bak borjuis kecil. Para penyelenggara pendidikan yang seharusnya melayani, tetapi justru minta dilayani. Praktik pendidikan pun masih selalu menunggu petunjuk dari atas; miskin kreativitas dan inovasi. Sekolah banyak mendapatkan droping peralatan dan fasilitas, tapi mereka tidak pernah mau belajar bagaimana cara menggunakannya. Tidak heran apabila subsidi perangkat televise yang seharusnya sudah dimanfaatkan mengakses siaran TV-Education, masih banyak yang “ndongkrok”, bahkan masih terbungkus rapi.
Keempat, pemberdayaan profesionalisme guru yang masih “jalan di tempat”. Kini, era digital sudah merasuki lorong-lorong kehidupan masyarakat di negeri ini. Dunia maya mampu menyajikan berbagai informasi terbaru, menarik, dan aktual. Namun, sudah banyakkah rekan-rekan guru di negeri ini yang telah mencoba mengaksesnya untuk kepentingan pembelajaran?. Dalam hal mengakses informasi, guru tak jarang “kalah bersaing” dengan murid-muridnya. “Siswa didiknya sudah melaju mulus di atas jalan tol, tetapi sang guru masih bersikutat di balik semak belukar”. Mereka sudah biasa mengakses internet, baik milik orang tuanya maupun warnet, dan sudah begitu akrab dengan istilah-istilah dasar “ngenet”, seperti browsing, search engine, e-mail, atau chatting. Oleh karena itu, sungguh pandangan yang keliru kalau pada abad gelombang informasi seperti sekarang ini masih ada seorang guru yang masih memosisikan dirinya sebagai satu-satunya sumber belajar.
Menurut hemat saya, TIK bisa dimanfaatkan secara optimal untuk kepentingan
pembelajaran apabila para guru yang berdiri di garda depan dalam dunia pendidikan kita tidak “gaptek”. Minimal, mereka bisa mengoperasikannya sehingga siswa didik bisa “menikmati” media pembelajaran dengan segenap emosi dan pikirannya. Sebuah kesia-siaan apabila sekolah “dimanja” dengan berbagai piranti teknologi mutakhir, tetapi mereka tak sanggup memanfaatkannya secara maksimal.
Sebagai “agen perubahan dan peradaban” dunia persekolahan kita tampaknya memang harus sudah mulai mengakrabi TIK. Di kelaslah “ruh kurikulum” berada.
Dalam benak saya terbersit bayangan, di sekolah yang telah memanfaatkan TIK untuk merevitalisasi pembelajaran, ada sebuah moving class, yang bisa dimanfaatkan secara bergiliran sesuai jadwal oleh guru dari berbagai mata pelajaran. Di kelas itu sudah tersedia komputer (PC atau notebook) online, LCD, scanner, printer, dan berbagai software pembelajaran yang menarik dan memikat perhatian siswa didik. Dengan terampil, sang guru akan mengemas pembelajarannya melalui berbagai tayangan media yang menarik, sehingga mampu menggugah emosi dan pikiran siswa untuk bersikap kreatif, penuh inistatif, dan kritis. Dengan demikian, pembelajaran betul-betul berlangsung secara aktif, inovatif, kreatif, efektif, dan menyenangkan. Ini artinya, setiap guru, mau atau tidak, harus siap menyongsong “era baru” melalui pemanfaatan TIK dalam kegiatan pembelajaran. Alasan “tidak bisa”, “tidak berbakat” perlu dikubur dalam-dalam karena siapa pun bisa menggunakan TIK asalkan mau belajar dan tidak malu bertanya.
Untuk menciptakan atmosfer baru dalam dunia pembelajaran di sekolah, harus ada upaya serius untuk memberdayakan guru agar mereka tidak “gaptek” lagi dalam memanfaatkan TIK untuk kepentingan pembelajaran. Jika tidak ada upaya serius dan intensif, disadari atau tidak, pemanfaatan TIK dalam pembelajaran hanya akan terapung-apung dalam bentangan slogan dan retorika belaka. Bagaiman dengan kita para guru, siapa lagi kalau bukan kita yang memulainya ?.

Posted in |

0 komentar: